Selasa, 28 Juli 2015

KRISIS YANG TERTIDUR

Beberapa lama ini mungkin diantara kita berpikir bahwa Krisis Yunani sudah berlalu. Perdana Menteri Yunani sudah mengadakan kesepakatan dengan IMF untuk menggelontorkan dana talangan atau Bail out utk masalah finansial Yunani. Untuk sementara ini Yunani bisa sedikit bernafas lega. Iya. Hanya sedikit. Karena sejatinya, krisis tersebut hanya tertidur. Pada waktunya nanti, saat jatuh tempo, krisis tersebut akan bangkit lagi. Dan sebaiknya, Pemerintah Yunani sudah berbekal "obat penawar" utk krisis tersebut.

Paham Pasar Bebas sesungguhnya sudah mati sejak lama. Namun pemerintah negara yg berpaham Open Society selama ini membuatnya seakan-akan masih berjalan. Berjalan dg bertopang Hutang. Kita lihat USA. Negara yg maju. Infrastruktur memadai. Produktivitas tinggi. Tapi hutangnya mencapai lebih dari 100% dari Pendapatan negara yg bisa dihasilkannya. Kita tengok Jepang. Negara berteknologi tinggi. Infrastruktur publik yang mendekati sempurna. Tapi rasio hutang terhadap pendapatan negara adalah 250%! Hutang mencapai 2,5 kali lipat pendapatan. Entah bagaimana negara tersebut akan menyelesaikan kewajiban2nya.

Bagaimana halnya dengan negara-negara yg tergabung dalam Uni Eropa? Setali tiga uang. Kita lihat saja krisis di Portugal sampai-sampai harus dibail out dengan USD$ 8 miliar dan memgalami gelombang PHK besar-besaran. Hutangnya mencapai 80% dari PDB. Italia juga demikian. Ekonomi Inggris juga pernah terjungkir karena hal yang serupa. Melandaskan ekonomi negara hanya pada hutang. Padahal kemampuan produksinya tidak memadai besarnya hutang. Hanya Jerman yang hingga saat ini cukup tahu diri untuk tidak mendewa-dewakan hutang sebagai pilar ekonominya.

Bagaimana halnya dengan Indonesia?

Untungnya, Indonesia tidak bertopang pada hutang. Hutang Indonesia hanya 25% dari Pendapatan. Itulah mengapa Indonesia diproyeksi akan menjadi Ekonomi terbesar di dunia setelah Cina pada tahun 2030 nanti. Perlambatan pertumbuhan Indonesia semata-mata hanya dipicu oleh turunnya harga komoditas di pasar internasional, oleh penguatan dollar, serta oleh volume barang impor baik migas maupun non-migas.

Selain itu, Fondasi makro ekonomi Indonesia terbilang solid. Hal itu berkat kekuatan UMKM yg mempunyai akar yang menancap kuat di tataran mikro. Meski tantangan yg dihadapi oleh Indonesia masih terbilang tidak sedikit, misalnya minimnya Infrastruktur publik, belum terbangunnya transportasi penghubung antar koridor sektor ekonomi, hingga birokrasi dan tata laksana pemerintahan guna menunjang operasi bisnis swasta, tapi jika kita menilik Index Kepercayaan Konsumen kita yg saat ini mencapai 107 (mengalami penurunan 15 poin dari tahun 2013 akibat gejolak krisis global dan pelemahan rupiah) maka dapat kita rasakan masyarakat masih bisa bernafas lega berkat tata kelola negara kita yg moderat. Tidak condong kepada Hutang, dan tidak condong kepada sistem Komunis.

Memanglah tidak ada sistem ekonomi yg sempurna di dunia ini. Dan memanglah bukan itu tujuan bernegara kita. Tapi, sesuai dengan semangat Pancasila, tujuan ekonomi bangsa kita adalah ekonomi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Semangat tersebut akan terpenuhi manakala pemerintah bukan hanya bersandar pada angka-angka indikator pertumbuhan ekonomi yang seringkali bias. Semangat tersebut hanya terwujud jika Pemerintah bisa mengupayakan agar setiap warga negara Indonesia mendapatkan akses yang setara dan kompetensi yang handal untuk mengelola faktor-faktor produksi yang ada di Indonesia, yang dengan demikian rakyat Indonesia sepenuhnya mandiri terbebas dari segala bentuk subsidi. Semangat inilah yang akan menjauhkan Indonesia dari Krisis Ekonomi.

(Ruchul Maani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar