Senin, 27 Juli 2015

Kapitalisme Runtuh

BENCANA SUBPRIME MORTGAGE

Awalnya, bisnis Property menjanjikan. Keuntungan sangat besar. Bank-bank Investasi memusatkan dana kelolaan investasinya kepada bisnis jualan rumah. Tapi praktik ekonomi pasar bebas yg penuh dengan keserakahan terjungkal karena tidak tahu kapan harus berhenti.

Semua bermula dari seorang karyawan yang bisa membeli rumah secara kredit dg surat komitmen utk membayarnya secara periodik kepada Bank dari gaji bulanannya. Bank mendapatkan untung dari cicilan berbunga tersebut. Bank komersil tersebut berpikir bahwa sistem "memanen uang" dari bunga cicilan rumah ini layak di duplikasi. Tapi tentu saja membutuhkan dana yg tidak kecil. Darimana dana tersebut dapat diperoleh? Tentu saja dari Bank-bank pengelola dana investasi semacam Lehman Brother di USA. Bank Pengelola dana tersebut menggelontorkan dana utk membangun ribuan rumah utk kemudian dijual kepada ribuan orang Amerika. Disinilah dimulai insting keserakahan dalam ekonomi pasar bebas.

Saat pasar sudah mencapai titik jenuh, broker rumah sudah mulai bingung, mau menjual kepada siapa lagi. Kelompok masyarakat yg berperingkat AAA, yg artinya layak utk diberi kredit dan kemungkinan gagal bayarnya nol, sudah habis. Padahal masih banyak investor yang bernafsu utk membangun ratusan rumah lagi demi mengejar profit.

Maklum, sejak meletusnya bubble ".com" pada tahun 2001, Federal reserve, Bank sentralnya USA menetapkan suku bunga acuan hanya 1%. Investor mana yg tertarik dg imbal hasil sekecil itu?! Investor tentu lebih menyukai menanam modal di property yg hasilnya berlipat-lipat daripada hanya 1% deposito bunga bank.

Untuk memuaskan nafsu investor yg jauh lebih besar dibandingkan jumlah konsumen rumah yg layak kredit ini, Bank komersil kemudian membuka pasar baru dg memberikan kesempatan utk kelompok masyarakat dg peringkat BBB dan CCC utk memiliki rumah. Golongan Subprime. Tentu saja, kelompok peringkat BBB dan CCC ini adalah kelompok masyarakat yg sebenarnya tidak layak kredit, dan kurang memiliki rasa tanggungjawab utk melunasi hutang. Sedangkan di sisi lain, Bank-bank Investasi kemudian menciptakan CDO; Collateralized Debt Obligation. Surat Hutang beragun Hutang. Terdengar lucu memang. Tapi sistem haram inilah pemicu krisis. CDO inilah bentuk keserakahan berikutnya yg mempercepat meletusnya bubble atau masalah. Konsumen rumah itu membelinya dg kredit. Kredit adalah Hutang. Komitmen mencicil hutang itu kemudian dijadikan jaminan utk menerbitkan surat hutang. Gila kan!

Surat hutang itulah yg kemudian dijual kepada para investor. Cara main sistem CDO adalah dengan membagi surat hutang ke dalam 3 peringkat. Peringkat AAA, BBB, dan CCC. Surat hutang AAA berbunga rendah memang. Tapi, kepastian tingkat defaultnya aman. AAA adalah konsumen yg dinilai gak akan gagal bayar, sehingga risiko default rendah. Sedangkan surat hutang berperingkat BBB, berimbal hasil lebih tinggi daripada yg AAA. Kenapa lebih tinggi? Karena risiko gagal bayar lebih tinggi daripada AAA. Ingat prinsip High risk high return. Prinsip yg sama berlaku pada Obligasi berperingkat CCC. Biasanya spekulan2 pasar modal sangat berminat membeli surat hutang yg ini. Tentu saja karena bunganya paling tinggi. Imbal hasil tinggi seringkali membuat orang gelap mata akan risiko yang mengimbanginya. Disinilah sumbu bom mulai semakin pendek dan detik2 terakhir bom akan meledak.

Seperti yg diperkirakan, satu konsumen berperingkat CCC gagal bayar, default, tidak mampu meneruskan cicilannya. Rumah disita pihak bank. Konsumen CCC berikutnya juga default. Lalu berikutnya, berikutnya, berikutnya, demikian seterusnya hingga terhimpun ratusan Rumah hasil sitaan di tangan Bank dari konsumen CCC dan BBB yg default. Bank kebingungan dg ratusan rumah sitaan tersebut. Bingung harus dijual kemana lagi. Tidak ada lagi yang mampu membeli rumah dengan harga yang berlaku saat itu. Kebingungan bank diperparah lagi oleh pihak investor yang terus-menerus menagih imbal hasil investasinya. Tapi apa hendak dikata, cicilan gagal terkumpul.

Pilihan tersulit yang harus dilakukan bank adalah menurunkan harga ratusan rumah sitaan agar dapat terserap oleh pasar. Agar bank mendapatkan dana segar utk membayarkan kembali hutangnya kepada para investor. Tapi sekali lagi, hukum permintaan-penawaran berlaku. Jika tersedia ribuan rumah sitaan berharga murah, maka puluhan rumah-rumah konsumen berperingkat  AAA yg masih sanggup bayar itu pun jadi ikut terkerek turun. Logikanya, jika harga rumah sitaan hanya 400juta, mengapa harus beli rumah milik Konsumen AAA yg harganya 700juta?!

Perlu diingat bahwa konsumen AAA adalah karyawan yg sanggup mencicil. Orang dengan kesanggupan mencicil tentu memiliki portofolio investasi di bank-bank investasi. Itu artinya, jika Bank-bank investasi gagal memberikan imbal hasil uang kepada karyawan-karyawan investor berperingkat AAA yg taat bayar cicilan, maka mereka juga akan ikut kesulitan membayar cicilan mereka, lalu berakhir serupa dengan mereka yang berperingkat BBB dan CCC; Gagal Bayar. Ketika mereka hendak menjual rumahnya dengan harga 700juta, tidak ada yang laku karena harga pasarannya turun menjadi 400juta. Mereka pun merugi...

Bank Investasi yang hanya ditopang oleh sektor properti terjungkir. Bangkrut. Diantaranya adalah Lehman Brother dan Citibank. Harga saham gabungan jeblok. Wallstreet goncang. Gelombang tersebut berimbas kepada sektor industri dan perdagangan. Gelombang PHK mendera tanpa henti. Mendera membabi buta hingga ke seluruh penjuru dunia sampai memicu krisis yunani dan pada gilirannya krisis eropa.

George Soros akhirnya dalam wawancaranya di Bloomberg tv tadi sore mengakui, bahwa sistem kapitalis juga pada akhirnya runtuh. Sistem pasar bebas yg mengharamkan campur tangan pemerintah dan otoritas negara pada akhirnya terjungkal oleh keserakahan. Ada yang harus ditata ulang dalam sistem ekonomi global ini. Kalau mau ditanya harus mulai darimana? Ya harus dimulai secara simultan dan didasarkan pada komitmen antar negara di suatu wilayah. Entah ASEAN, NORTH ATLANTIC, UNI EROPA, atau TIMUR TENGAH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar