Sabtu, 25 Juni 2011

CInta dalam Ilegalitas Aborsi

Tulisan ini adalah sebuah jawaban bagi seorang teman yang mendukung legalitas Aborsi. Dalam jawaban ini, saya tidak akan mengaitkannya dengan Agama apa pun, Saya hanya akan mengaitkannya kepada hukum positif dan etika humanisme. 

well, to me, and at least, according to Dr. Anne Catherine speckard from Minnesota University, to 91% of women who has ever commit abortion, aborsi itu tindakan "membunuh" bayi. Jadi secara etis, it's definitely wrong.

Dengan menjadikan berjamurnya dukun-dukun aborsi ilegal sebagai alasan dari dilarangnya aborsi, tentu kurang tepat. Karena alasan itu bisa dibalik dengan alasan, akan menjamurnya sikap permisif terhadap sex bebas karena mindset legalnya aborsi sebagai safety net. Perlu diingat, seahli dan serberpengalaman apapun dokter itu, secanggih dan selengkap apa pun peralatan medis yang ada, Probabilitas untuk terjadi peradangan dan robeknya rahim selalu ada. Metode aborsi apapun, mulai dari metode penyedotan, metode D&C, hingga metode racun garam (saline) semuanya mempunyai risiko. Risiko merobek rahim hingga kematian walau hanya hingga 5% saja, itu sudah cukup besar dan tidak etis untuk melegalkan tindakan aborsi. Sempat teringat klise film-film jaman dulu yang line nya berbunyi "gugurkan saja kandunganmu!". :) Biasanya line itu dikatakan oleh cowok yang takut tanggung jawab dan hanya ingin enaknya saja. :)

Kita tidak perlu mengaitkan aborsi dengan dosa . Tapi hanya perlu mengaitkannya dengan etika. Logikanya, kalo hukum positif membolehkan manusia membunuh manusia lain yang tak berdosa, maka, tidak menjadi masalah untuk membunuh manusia dalam rahim. Tapi kenyataannya kan, membunuh manusia itu adalah tindakan pidana. Harusnya hal yang sama diperlakukan kepada membunuh manusia dalam rahim.

Adalah salah, jika mengabaikan janin sebagai bukan manusia. Janin itu sudah merupakan sebuah kehidupan. Dalam perspektif ilmiah, semenjak sperma bertemu dengan ovum terjadilah peleburan kromosom dari sperma dan ovum, sehingga kehidupan baru terbentuk semenjak saat itu. Manakah yang lebih jahat, membiarkan anak itu hidup meski ketika hidup nanti tidak diinginkan oleh orang tuanya dan keluarga besarnya, atau membunuhnya sejak dalam kandungan demi menyelamatkan martabat sang ibu, dan keluarganya?
Ketika anak itu hidup, dan lahir ke dunia, dia punya takdirnya sendiri, apakah akan dibuang oleh orang tuanya, ataukah mendapatkan kasih sayang dari ibunya atau mungkin juga dari orang lain. Ketika terbuang pun, sang anak akan menemukan takdirnya sendiri, apakah menjadi preman, ataukah menjadi ustadz. Jadi, disamping kemungkinan-kemungkinan buruk, kemungkinan baik selalu masih ada. Dan andai pun, kemungkinan baik itu hanya 5%, maka kemungkinan baik itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan dibiarkannya janin itu hidup.
Tapi kalo dia sudah mati duluan dalam rahim, maka anak itu sudah tidak punya kesempatan lagi untuk berbahagia dengan kasih sayang dari ibunya ataupun orang lain. Ingat, hati seorang Ibu tetaplah hati manusia, yang sering berbolak-balik. Benci bisa menjadi cinta. Jelas membunuh janin adalah lebih jahat.
Malu, martabat, adalah alasan yang terlalu dangkal untuk membunuh janin. Jika hanya ingin menyelamatkan martabat sang ibu lalu janin dibunuh, maka hal itu adalah tindakan paling egois dan kejam, karena mengabaikan kenyataan bahwa ada makhluk hidup dalam rahimnya yang juga punya hak untuk hidup.

Jika ingin selamat dari pilihan aborsi, maka sebaiknya Jaga diri. Jangan sembarangan dengan sex. Jika memang hamil itu terjadi akibat kejadian yang tidak diinginkan, pemerkosaan misalnya, maka tidak ada alasan seorang Ibu membuang anaknya. Baik secara etika, hukum agama, ataupun hukum positif, anak itu adalah anak ibunya. Bukan lelaki yang memperkosanya. Berarti sang ibu tetap harus menyayanginya karena anak itu adalah darah dagingnya. Adalah kejam jika sang anak malah dibuang. Jika sang Ibu belum siap menjadi seorang Ibu, masih ada manusia lain di dunia ini yang siap mendidiknya.

Yang jelas, selalu ada 1001 alasan untuk melegalkan aborsi, tapi ingat, selalu ada juga 1001 alasan yang lebih bijaksana, etis dan penuh cinta untuk membiarkan janin itu tetap hidup. Tuhan menyayangi semua makhluknya. Dan hanya Tuhan yang berhak menentukan hidup matinya Makhluk.



ow ya.. twitterku @pinknista. If U don't mind, follow me ya.. :) I have so much love to share.. :)

Kamis, 23 Juni 2011

Living in the future sucks

i believe i can see the future. 'coz i repeat the same routine”

I quote the words above from a band. A rock band (dat's why i love rock. it's lyrics are so frank). They say when u live the same way like you did the day before, I simply call it “you are living in the future”. Why so?
Well, I'll get you into it.
Basically, people like stability. (Including me once. Well, Nothing is wrong with it right??). They are resistant to any changes or new things. They prefer status quo to progressive mobility. At first, I thought this kind of feeling of status quo only happen to those who are wealthy. But then i realize, most people, who can't afford huge house with jacuzzi polishing each corner of it, are also conservative by getting scared to the risk of moving. So generally speaking, the rich man and the poor man sometimes share the one thing in common; Status Quo.
In my last daily life, this status quo had been enfolding me for 7 months. I mean, i spent my whole 7 months doing the same routine as an employee of a bank. To some people, i'm a lucky person since job was somehow not easily obtained in this city. Big city like Jakarta. I'm not gonna say that i'm not pretty much of a grateful man, but, honestly, being an employee is not the part of my life plan. Indeed, fix income, benefits, certainty of life rhythm, financially insured, put me in a cozy life. But having more time with my family, certainly no. I hardly couldn't find any chance to spend time with them.
Surely i can tell you how boring my life was when i started my morning with rushing to office, stuck in the middle of polluting vehicles, never ending congested traffic, horns shout out every second, and arriving the office with body full of dust and dirt. That was not it. There was still more. I worked under supervision. Piles of papers. These papers, are somethings i couldn't tolerate any more. Supervisors yelling at any time they see my desk still bulk with piles of papers. And, Guess the best part of it! They repeated again in the next day.
Definitely i was living in "the future". Because the life in "the future" is the life I was walking on by then. Life in "the future" to me means "the repetation of the life you are having right now and is a predictable occasions".  
So what is so good about it?